“The soul needs stories like the body needs food. If we don’t give the soul good stories it will not be healthy, like if the body doesn’t get good food.”
-Rudolf Steiner-
JAGADALITWALDORF.ID – Menghantarkan pendidikan melalui kisah/cerita/dongeng merupakan salah satu media utama dari pendidikan Waldorf pada setiap jenjang pendidikan. Bercerita pada sekolah Waldorf terlihat berbeda dengan cara bercerita yang biasa kita lihat karena tujuannya adalah untuk menumbuh suburkan imajinasi anak. Mental image (gambaran di dalam kepala) akan terbentuk ketika anak mendengar kata-kata di dalam cerita. Mental image muncul dari dalam diri anak sesuai dengan kapasitasnya. Lain halnya dengan gambaran-gambaran fix yang disuguhkan melalui layar atau buku cerita dengan ilustrasi yang detail.
Untuk menumbuh suburkan imajinasi yang juga artinya membangun kapasitas untuk membentuk mental image, cerita disampaikan dalam suasana yang khidmat, seolah-olah anak masuk ke dalam dunia lain yang penuh keajaiban dan ketakjuban. Tentunya orang yang bercerita juga telah memiliki mental image akan segala yang ada di dalam cerita. Penuturan cerita secara apa adanya, tidak berlebihan baik dalam intonasi, gerak tubuh, ataupun penggunaan perlengkapan bercerita. Cerita dihantarkan sepenuh hati dan penghayatan dengan suara yang lembut, pengucapan kata yang jelas, penuturan dengan tempo yang tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, intonasi tinggi rendah yang mengalun lembut, ekspresi wajah yang wajar, dan gerakan yang seperlunya.
Hampir semua jenis cerita seperti dongeng, fabel, legenda, dan fairy tale mengandung pesan yang dikirimkan oleh mahluk langit dan yang disimpan oleh mahluk-mahluk yang ada di bawahnya. Melalui cerita, kita dapat menyampaikan makna kehidupan. Melalui cerita, kita dapat menyampaikan pengetahuan, conflict resolution, jalan keluar bagi challenging behaviours, dan banyak lagi. Namun kesemuanya itu disampaikan melalui metafora dan kita tidak perlu menyampaikan pesan moral secara langsung. Hal ini akan dinikmati dan dimaknai oleh anak melalui ranah feeling. Konflik ataupun dinamika isi cerita bisa beragam, namun selalu diakhiri dengan gambaran kebaikan dan keindahan.
Storytelling berbeda dengan story reading. Kemampuan orang tua atau guru untuk dapat menghayati dan menyatu dengan sebuah cerita merupakan aspek yang sangat penting. Ketika pendongeng dapat masuk secara mendalam, menghayati, dan menyatu dengan kisah yang diceritakannya, maka anak-anak pun akan masuk ke dalam dunia imajinasinya, akan masuk ke dalam dunia yang penuh keajaiban dan ketakjuban. Anak akan terhubung dengan kisah yang disampaikan oleh pendongeng. Hal ini lebih mungkin terjadi jika pendongeng menceritakan kisah tanpa bantuan teks maupun buku.
Hingga usia 6-7 tahun, cerita yang sama disampaikan dalam jangka waktu dua sampai empat minggu, dimana dalam jangka waktu ini anak dapat menyerap isi cerita. Mendongeng merupakan bagian dari ritme harian. Disampaikan pada waktu yang sama setiap harinya. Sebagai bagian dari ritme pula, sebaiknya bercerita dilakukan di tempat yang sama setiap harinya. Pilihlah bagian atau sudut ruangan yang tenang, dimana anak tidak akan teralihkan perhatiannya.
Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam bercerita :
- Dapat diawali dengan sebuah lagu atau senandung sebagai penanda dan ajakan bahwa cerita akan dimulai.
- Bangun atmosfer yang khidmat. Bawa anak masuk ke dalam dunia yang penuh keajaiban dan ketakjuban. Dapat dilakukan dengan bernyanyi/bersenandung lembut/memainkan alat musik lembut/ membunyikan bel dengan lembut/menyalakan lilin.
- Boneka sederhana atau bahkan batu, ranting, pinecone dan media sederhana lainnya dapat digunakan sebagai property mendongeng untuk membantu anak membentuk mental image.
- Setelah cerita selesai, berilah tanda dengan cara bernyanyi/bersenandung lembut/memainkan alat musik lembut/ membunyikan bel dengan lembut/memadamkan lilin.
Jenis cerita yang sesuai dengan usia anak dapat dilihat di https://www.waldorflibrary.org/articles/977-choosing-fairy-tales-for-different-ages (Kenny Dewi)